Skip to main content

Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka (2) | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Bab III.

Penjelasan Kaidah-kaidah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil.

Penjelasan Kaidah Kesepuluh (2).

"Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka."

Ungkapan 'menyerupai syari'at' sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syariat, bahkan bertentangan dengan syari'at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari'at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari'at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan 'untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah', adalah pelengkap makna bid'ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid'ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepadaNya seperti disebutkan dalam firmanNya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dam manusia melainkam supaya mereka beribadah kepadaKu." (QS. Adz-Dzariyaat: 56). Seakan-akan orang yang membuat bid'ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid'ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari'at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia mengulang-ulanginya. (109)

Beliau rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: "Bid'ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari'at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari'at." (110)

Beliau menetapkan definisi yang kedua tersebut, bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid'ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid'ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah mengkorelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,...karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, persyaratan dan kaidah-kaidah syariat yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang Muslim selain ketetapan baku itu. (111)

Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H):

Beliau rahimahullah menyebutkan: "Yang dimaksud dengan bid'ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari'at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari'at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari'at tidaklah dikatakan sebagai bid'ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid'ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid'ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun batin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid'ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid'ah secara bahasa, bukan menurut syari'at.

Contohnya adalah ucapan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (Shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau radhiyallahu 'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjama'ah. Maka beliau radhiyallahu 'anhu berkata: "Sebaik-baiknya bid'ah adalah yang semacam ini." (113)

=====

Catatan Kaki:

109. Lihat Ilmu Ushuulil Bida' (hal. 24-25) oleh Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid.

110. Al-I'tisham (hal. 51).

111. Al-I'tisham (II/568, 569, 570, 594). Lihat juga Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid'ah (hal. 30-31) oleh Syaikh Sa'id bin Wahf al-Qahthany.

112. Jami'ul 'Ulum wal Hikam (hal. 501, cet. II, Daar Ibnul Jauzi - 1420 H) tahqiq Thariq bin 'Awadhullah bin Muhammad. Lihat Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid'ah (hal. 30-31).

113. Shahih al-Bukhari (no. 2010).

=====

Maraji'/ sumber:

Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.

Popular posts from this blog