Skip to main content

Pembagian Talak; Kepada Sunni dan Bid'i (3) | Tafsir Wanita

Tafsir Wanita

Surat Al-Baqarah

Hukum-hukum Puasa

Pembagian Talak; Kepada Sunni dan Bid'i

Disyariatkannya Khulu' (3)

Ibnu Abbas telah mengembalikan seorang wanita kepada suaminya setelah dua talak dan satu kali khulu' sebelum dia dinikahi oleh orang lain. Kemudian dia ditanya oleh Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash tatkala dia dinobatkan oleh Abdullah bin Zubair sebagai gubernur Yaman tentang masalah ini. Maka dia mengatakan padanya; Sesungguhnya talak orang-orang Yaman secara umum adalah dengan membayar!

Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya tebusan (fida') itu bukan termasuk talak, namun ada orang yang keliru menamakannya."

Ibnu Abbas berdalil bahwa Allah telah berfirman, "Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain..." (Al-Baqarah: 229-230) Ibnu Abbas berkata, "Allah telah menyebutkan tentang fidyah (bayaran, tebusan) setelah dua kali talak. Kemudian Allah berfirman; "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain," yang demikian itu masuk dalam fidyah khususnya dan fidyah lainnya secara umum. Maka andaikata fidyah (bayaran) itu dianggap sebagai talak, maka jadilah dia empat. Ahmad dalam riwayat yang masyhur dan orang-orang yang telah disebutkan sebelum ini semuanya mengikuti pendapat Ibnu Abbas.

Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai wanita yang melakukan khulu' itu, apakah iddahnya selama tiga quru' atau dia hanya cukup membersihkan rahimnya dengan sekali haidh saja?

Dalam hal ini ada dua pendapat dari Ahmad:

Pertama; Hendaknya dia membersihkan rahimnya dengan sekali haidh saja. Ini adalah pendapat Ahmad, Ibnu Abbas dan Abdullah bin Umat dalam riwayat terakhir yang datang darinya. Ini juga merupakan riwayat dari sekian banyak ulama salaf dan merupakan madzhab yang dianut oleh Ishaq, Ibnul Mundzir dan yang lainnya. Demikian inilah yang diriwayatkan dalam Sunan dengan periwayatan yang hasan sebagaimana telah saya sebutkan jalur-jalur periwayatannya di tempat lain. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh mereka yang mengatakan bahwa yang demikian itu tidak termasuk dari talak tiga.

Mereka juga mengatakan; bahwa andaikata dia masuk di dalamnya pastinya akan diwajibkan untuk menunggu selama tiga quru' sesuai dengan nash Al-Qur'an.

Kemudian mereka berhujjah dengan pendapat ini dengan mengatakan; Bahwa apa yang dinukil dari Utsman bin Affan adalag lemah; yang menjadikannya sebagai talak ba'in. Sebab sesungguhnya telah ada dengan kuat sanad yang shahih bahwa Utsman mengharuskan untuk membersihkan diri hanya dengan sekali haidh saja. Padahal jika dia dianggap sebagai talak, pastilah akan diwajibkan untuk menunggu selama tiga quru'.

Jika dikatakan; Bahwa Utsman telah menjadikan bagi wanita yang ditalak itu telah dianggap bersih rahimnya dengan satu haidh, maka hal yang demikian itu, tidak dikatakan oleh ulama mana pun. Dengan demikian, mengikuti Utsman dalam riwayat yang kuat dan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan juga sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah adalah lebih utama, daripada mengikuti riwayat dari seseorang yang majhul. Yakni riwayat Jamhan Al-Aslami dari Utsman yang menjadikannya sebagai talak ba'in.

Sedangkan dalil terbaik yang dinukil dari sahabat; bagi orang yang menganggapnya sebagai talak ba'in, adalah apa yang telah disebutkan dari Utsman tadi. Sebab walaupun dengan segala kelemahannya, hal itu telah diriwayatkan dengan isnad yang shahih dengan tanpa ada yang berseberangan dengannya. Dengan demikian, maka tidak akan mungkin bisa untuk disingkronkan. Sebab yang demikian akan sangat bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah.

=====

Maraji'/ Sumber: 
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, tanpa keterangan cetakan, tanpa keterangan tahun. Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Editor: Farida Muslich Taman, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.