Skip to main content

Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka (3) | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Bab III.

Penjelasan Kaidah-kaidah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil.

Penjelasan Kaidah Kesepuluh (3).

"Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka."

B. Pembagian Bid'ah. (114)

1. Bid'ah Haqiqiyah.

Yakni bid'ah yang tidak memiliki indikasi dari syar'i baik dari Kitabullah, dari Sunnah dan Ijma'. Dan juga tidak ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bid'ah karena ia merupakan hal yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya. (115)

Di antara contohnya adalah bid'ahnya perkataan jahmiyah yang menafikan Sifat-sifat Allah, bid'ahnya qadariyah, bid'ahnya murji'ah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu 'anhum.

Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Isra' Mi'raj dan lainnya.

2. Bid'ah Idhafiyah.

Adapun bid'ah idhafiyah adalah bid'ah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan bid'ah. Kedua, tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bid'ah haqiqiyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia adalah bid'ah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil.

Adapun perbedaan antara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil. Bid'ah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata.

Atas dasar ini, maka bid'ah haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pelanggaran murni dan keluar dari syari'at sangat jelas, seperti ucapan kaum qadariyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah, (116) mengingkari adanya Ijma', mengingkari haramnya khamer, mengatakan bahwa para Imam adalah ma'shum (117) (terpelihara dari dosa) ... dan hal-hal lain yang seperti itu. (118)

Dikatakan bid'ah idhofiyah artinya bahwa bid'ah bila ditinjau dari satu sisi disyari'atkannya tapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid'ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak didukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi. (119)

=====

Catatan Kaki:

114. Lihat al-I'tisham (I/367), dan seterusnya.

115. Ibid.

116. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan orang-orang yang serupa dengannya. Lihat kitab 'Ilmu Ushuulil Bida' (hal. 148).

117. Seperti yang diyakini oleh syi'ah imamiyah.

118. Al-I'tisham (I/221).

119. Ibid.

=====

Maraji'/ sumber:

Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.

Popular posts from this blog