Skip to main content

Kaidah dan Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Bab II.

Kaidah dan Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil. (56)

1. Sumber 'aqidah adalah Kitabullah (al-Qur-an), Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, dan ijma' Salafush Shalih.

2. Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima, walaupun sifatnya ahad.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr: 7)

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami al-Qur-an dan as-Sunnah adalah nash-nash (teks al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maa-idah: 3

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka amalannya tertolak." (58)

5. Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.

6. Dalil 'aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih. Sesuatu yang qath'i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli (ayat ataupun hadits) harus didahulukan.

7. Rasulullah 'alaihish shalaatu was salaam adalah ma'shum (dipelihara Allah dari kesalahan) dan para Shahabat radhiyallahu 'anhum secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari mereka yang ma'shum. Jika ada perbedaan di antara para Imam atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang berijtihad.

8. Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujahadah (berbantahan) dengan cara yang baik itu masyru'ah (disyari'atkan). Dalam hal yang telah jelas (ada dalil dan keterangannya dalam al-Qur-an dan as-Sunnah) dilarang berlarut-larut dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang Muslim tentangnya (misalnya tentang Sifat-sifat Allah, qadha' dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah 'Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan kemudian membacakan ayat: '... Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja...' (QS. Az-Zukhruf: 58)." (59)

9. Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) al-Qur-an dan as-Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal 'aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Oleh karena itu, suatu bid'ah tidak boleh dibalas dengan bid'ah lagi, kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya. (60)

10. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." (61)

=====

Catatan Kaki:

56. Lihat Buhuuts fii 'Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fil 'Aqiidah (hal. 5-9) karya Dr. Nashir bin 'Abdil Karim al 'Aql dan kitab-kitab lainnya.

57. Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.

58. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma.

59. HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), dishahihkan oleh al-Hakim (II/447-448) dan disepakati adz-Dzahabi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan." Dari Shahabat Abu Umamah al-Bahily radhiyallahu 'anhu.

60. Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid'ahnya jahmiyyah yang menafikan Sifat-sifat Allah, dibantah oleh musyabbihah (mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti bid'ahnya qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang tidak dicampuri oleh kekuasaan Allag ditentang oleh jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh tentang bid'ah yang dilawan dengan bid'ah. Wallahu a'lam.

61. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).

=====

Maraji'/ sumber:

Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.

Popular posts from this blog